MEMBACA INGATAN

“Selamat datang di Kelas Kenangan, tak perlu mencatat. Semua sudah ada di ingatan”, kata masasilam, memulai pelajaran.

Masasilam membuat kita saling mengingat, dan mengingatkan, masasilam membuat kita saling lupa dan melupakan. Kau mengingatkanku, apa yang masih kuingat. Aku mengingatkanmu, apa yang tak lagi kau ingat. Cinta mengingatkan kita, apa yang seharusnya diingat tapi dilupakan, apa yang dilupakan padahal ingin selalu diingat. Mengingat dan mengingatkan, lupa dan melupakan: pelajaran dasar cinta menulis riwayat-riwayat airmata, sebelum kita meletakkan di museum waktu,yang mungkin kelak tak lagi mengenali kau dan aku.

“Pelajaran pertama; mengingat. Pelajaran kedua; melupakan. Pelajaran ketiga; melupakan yg telah diingat”, lanjut masasilam. 

Kita sama-sama menyimak pelajaran dasar cinta yang  ternyata lebih rumit dari deretan angka-angka statistika dan matematika. Tak sekedar hitung-menghitung, tapi juga berhitung siapa yang lebih beruntung, siapa yang selamat, siapa yang kehilangan hangat dan alamat.

“Cukup sampai di sini pelajaran hari ini. Kalau rindu belum mengetukmu, jangan panggil Bu Guru”, tutup masalalu.

Kau menatapku, aku menatapmu: cinta meratap masalalu.

Apa Kabar?

Apa kabar kabarmu yang tak menanyakan kabarku? Semoga baik-baik saja, sebaik saat kau bilang baik-baik saja untuk sesuatu yang sebenarnya tak baik-baik saja.

Lama sekali kabarmu dan kabarku tak saling mengabarkan, barangkali mereka memang sedang baik-baik saja. Semoga hanya kita saja yang merasa pura-pura baik-baik saja, dan biarkan kabar-kabar yang mungkin masih milik kita baik-baik saja. Tak Mengapa, kabar baik selalu milikmu, sebaik doa-doaku yang menyembuhkan kabar burukmu.

Alangkah bahagianya menanyakan kabarmu yang tak menanyakan kabarku, mungkin sebahagia kau yang tak ingin tinggal dan memilih tanggal dari ingatanku.

Apa kabarmu yang tak menanyakan kabarku?

Musim Penghujan

Hujan datang lebih cepat dari perkiraan lembaga peramal cuaca. Aku dan mungkin juga kau belum sempat membeli jas hujan, payung, atau alat peneduh lainnya: pelindung saat basah menggenang atau saat masasilam tiba-tiba menghujani keningmu dan heningku. 

Aku dan kau, benar-benar tak menduga hujan datang lebih cepat dari biasanya, seperti halnya cinta yang pergi tiba-tiba saat kita (yang saat itu bertindak sebagai peramal cuaca) sama-sama bilang dengan penuh keyakinan cinta adalah selamanya. 

Musim hujan yang datang lebih cepat dari biasanya, musim cinta yang tak memberitahu kita seperti apa takdirnya. Hujan di kotamu, hujan di ingatanku: basah di mana-mana, di jendela kamarmu, di lorong sepiku.

Hujan datang lebih cepat dari biasanya, masihkah kau simpan airmataku di payung hitammu?

SELAMAT PAGI, PAGI YANG TAK SELAMAT

Hari ini, pagi lupa memberikan ucapan selamat kedalam kamarku, lupa memberikan selamat pada kepedihan yang menggigil semalaman.Tapi, semoga hari ini, pagi tak lupa memberikan hangat pada seseorang, seseorang yang telah bersusah payah mengucapkan selamat jalan, tak lupa memberikan hangat pada kebahagiaan yang baru saja jatuh pada pelukan seseorang. 

Sungguh, pagi yang tak adil; pagi yang tak adil bagi pepohonan, rerumputan, dan bunga-bunga yang baru saja mekar. Pagi yang lupa memberikan ucapan selamat, pagi yang alpa memberikan pelukan hangat.

Tidak seperti biasanya, tidak seperti pagi-pagi sebelumnya, sepotong puisi dalam secangkir kopi untuk pertama kali memberikan ucapan selamat pagi; pada pagiku yang tak selamat, pada pagiku yang telah kehilangan hangat dan alamat.

PENYAIR PALING BAHAGIA DI DUNIA

Sore yang mendung, di sebuah stasiun kereta; ketika kesedihanku melepas kebahagiaanmu.
Langit begitu murung melepaskan rintik kesedihan, seolah-olah ia tahu; tak semua cinta bisa melimpahkan kebahagiaan. Aku membenci hujan, rintikannya seperti sayatan yang penuh jerit kesakitan.

“Mendekatlah, peluk hatiku dengan pelukan yang paling erat. Aku hanya ingin tahu, seerat apa nanti kau melepasku.” katamu, menatap tajam sepasang mataku.
“Tak usah kau memberiku pelukan dan lambaikan tangan, bagi cinta; tak ada yg ditinggalkan, atau pun meninggalkan. Beri saja aku sebuah senyuman, agar untuk terakhir kalinya; tak ada lagi yang perlu aku khawatirkan dan cemaskan.”jawabku, menenangkan kekhawatiranmu.
Ia benamkan kepalanya di dadaku, sambil berbisik lirih; “Jika nanti kereta membawaku ke perjalanan seribu kesunyian, masihkah denyut jantungmu ini mendoakan keselamatanku,”

“Engkau tak perlu ragu, segala kebaikanmu telah mengalir di seluruh nadi-nadiku, yang kudetakkan di jantungku, ialah segala keselamatanmu”, jawabku, pilu.

Ada yang ingin dikekalkan oleh waktu, bukan engkau ataupun aku, tapi ingatan-ingatan kita yang sebentar lagi dipeluk masalalu.
“Aku memesan dua tiket kereta, saling berdampingan; satu untukmu, satunya lagi untuk ingatanku, yang akan menemanimu sepanjang perjalanan. Dekaplah bangku kosong itu, ketika ia menggigil dalam kesedihan.” kataku.
Telah kusiapkan bekal secukupnya: bekal bagi perjalananmu, dan juga bekal bagi kesedihanku. Tak lupa juga, ada buah tangan untukmu, sebuah baju hitam yang telah kumasukkan ke dalam ranselmu. Sebuah baju hitam, yang kujahit dari benang-benang ingatan, pakailah sesukamu; saat engkau telah mampu melupakanku”, kataku, sambil menyeka doa-doa yang berjatuhan dari matamu.
Aku memilih kata-kata terbaik, merangkainya; sebelum cinta menjatuhkan airmata kesakitannya.
Dalam perjalanan nanti, mungkin akan kau temui, deretan kursi penuh coretan puisi yang tak pernah jadi. Ada kebahagiaanmu, dan kepedihanku di situ.

Atau juga, ada pedagang kaki lima yang tak henti-henti menawarkan tisu dan saputangan untuk dibeli. Tak usah peduli, sebab puisi yang baik, tak pernah minta ditangisi.
Kau hanya perlu tidur, memimpikanku dalam perjalanan sunyimu; sebelum stasiun terakhir menjemputmu dengan kebahagiaan baru.
Saat kau sampai di stasiun tujuan, turunkan kakimu pelan-pelan; ada kesedihan, dalam setiap anak tangga saat menopang kakimu yg jenjang, jangan lupa; selimuti bangku kosong di sampingmu yang menemani sepanjang perjalanan, agar kesunyian dan kesepian tak merasa ditinggalkan.
Dan ketika seseorang menjemputmu di stasiun itu, katakan padanya, katakan saat ia memeluk mesra tubuhmu; kau baru saja diantarkan oleh penyair paling bahagia di dunia.

Samar-samar kudengar suara kereta datang. Ada yang bergemuruh di dadaku; mungkin kesedihanku, yang tak tahu lagi kemana harus berpulang, atau mungkin juga kebahagiaanmu, yang sebentar lagi jatuh pada pelukan seseorang.

Ada yang tak mampu kutangguhkan, meski seribu doa menghalangi perjalanan. Kereta, harus tetap diberangkatkan ke stasiun tujuan. Engkau menjemput kebahagianmu, aku menyambut kepedihanku.

“Selamat jalan kekasihku; selamat datang di ingatanku!”

PENYAIR YANG LUPA CARA BERBAHAGIA

Sore tadi, seorang penyair ditemukan mati dalam bait-bait puisi. Ia, tak pernah selesai menuliskan duka yang ditanggungnya.

Penyair itu mengembara dari kata ke kata, berlabuh dari tepian duka ke muara airmata ; mencari kebahagiaan, yang pernah singgah dalam jantung sunyinya.

Penyair itu percaya, bahwa ia bisa hidup bahagia; bahagia dalam puisinya, dan (mungkin) bahagia dalam cinta yang tak lagi mengingatnya.

Penyair itu ingin sekali menuliskan kebahagiaan dalam puisinya; puisi yang setiap kali dibaca tak membuat hidupnya terluka.

Tapi, puisi tak pernah percaya dengan kebahagiaannya. Setiap Ia tuliskan kebahagiaan hidupnya, selalu ada yg menetes perlahan-lahan dari pipi kata-kata.

“Aku telah terkena kutukan takdir; memulai sesuatu yang tak ingin usai,” kata penyair itu, kesal pada puisinya.

“Aku hanya mampu menulis puisi tentang cinta yang telah usai, puisi tentang duka yang baru saja dimulai,”
Katanya, menahan airmata yang abai.

“Aku mengingatmu, aku mencintaimu, dan aku terlalu buruk untuk menjadi penyair yang menuliskan kebaikanmu”, kata penyair itu, kelu.

“Mungkin sudah jadi takdir penyair, segala yang getir tak akan pernah menemui akhir.”

Sore tadi, penyair itu ditemukan mati bunuh diri dalam puisinya.

TAK ADA MENDUNG, YANG LEBIH SEMBAB DARI MATA PRESIDEN KAMI

Matamu Langit Negeri Ini

Di tengah badai, di tengah kabut asap, di tengah hujan yang tak henti-henti,  di tengah segala fitnah dan caci maki; kau merentas jalan menemui puisi yang maha sunyi.

Cucuran keringat ialah perjuangan; yang setiap tetesnya, ialah ketabahan yang menopang hidupmu dari segala ujian dan cacian.

Di negeri ini, negeri yang sama-sama kita cintai; kejujuran adalah barang mahal, ketulusan adalah bahan tertawaan, dan pengorbanan adalah olok-olokan. Tapi engkau telah memilih jalanmu, jalan yang kau yakini akan membawa perbaikan bagi nasib kami, bagi negeri ini.

Engkau melangkah di atas keyakinan
Engkau berjalan, untuk kebahagiaan yang harus diperjuangkan.
Meski harus ditebus dengan caci dan maki, meski harus diuji dengan segala yang menyakiti;
Tapi kau tetap melangkah untuk negeri ini
Untuk kami. Untuk kami!

Tak ada mendung yang lebih sembab dari mata Presiden kami. Tapi tak ada juga yang memahami!

*Note: Selamat bekerja Pak Presiden, jangan menyerah terhadap fitnah. Dari kami: @akf_akf dan @Bemz_Q anak-anak negeri.

SEBELUM HUJAN MENJATUHKAN KESEDIHANNYA

Bukankah segala kebahagiaan telah pergi? Lalu, untuk apa engkau datang kembali?

“Aku tak tahu jalan pulang, tak ada tanda arah kebahagiaan.”, katamu, menghampiriku, setelah sekian waktu tak menjenguk kesakitanku.

“Bukankah aku hanyalah tanda kebahagiaan yang telah kau lupakan? Bukankah aku hanyalah tanda kebahagiaan yang menyesatkan”, kataku, menatap nanar binar matamu.

“Tunggu saja di seberang waktu, siapa tahu Tuhan menunjukkan arah pulang hatimu. Hatiku, telah melarang apapun parkir di situ, selain masalalu”. Kuyakinkan hatiku, masalalu tak akan pernah datang kembali seutuh dulu.

“Engkau masih saja seperti dulu, angkuh dan begitu pandai menyembunyikan kesedihanmu. Lihatlah, bukankah kesedihanku begitu telanjang di matamu?”. Aku pura-pura tak mendengarnya, tak ada yang sebaik ingatanku untuk merasakan kesakitanku.

“Sejak kau lambaikan tanganmu, aku sudah lupa apa sedih itu, aku sudah lupa asin airmata, aku sudah lupa segala yang pernah membuatku bahagia”. Tiba-tiba hujan menjatuhkan airmatanya, setelah sekian lama, dan bumi pun menyambutnya dengan riang gembira.

“Kali ini saja, aku minta telunjukmu mengarahkanku ke suatu penjuru, ke arah mana saja, asalkan itu membuatmu bahagia, kali ini saja…”, pintamu, dan kau pun tak hiraukan lagi hujan yang membasahi payung hitammu.

Kuarahkan telunjukku ke hatiku, lalu ke ingatanku, sebelum akhirnya telunjukku patah oleh waktu.

“Mencintaimu, ialah mengingat segala sesuatu yang membahagiakan hidupku. Mencintaimu, ialah melupakan rasa sakit dalam hidupku”.

*Coffe club, sebelum hujan pertama meneteskan kesedihannnya

AKU PINJAM MATAMU

Aku pinjam matamu, sebentar saja; sebelum waktu memintaku berlalu.
Aku pinjam matamu, Mata penuh cahaya; tempat kebahagiaan dan kesedihan menemukan gaibnya.

Aku pinjam matamu, sebentar saja, sebelum senja menghampiriku.

Aku pinjam matamu; tak sanggup lagi kulihat kepedihanku!

Aku pinjam matamu, sebening apakah luka itu?!

SEBUAH PUISI UNTUK ULANG TAHUN ISTRIKU

Sebelum kutuliskan puisi ini, kau pastinya tahu kekasihku, bagaimana aku tak memiliki keberanian sedikit pun untuk menuliskan kebaikanmu dalam sajak-sajakku. Bahkan, kata-kata terbaik yang berseliweran dalam kepalaku, tak berdaya setiap kali kulafalkan namamu dalam puisi-puisiku. Tak apa-apa, bagi hidupku; engkau adalah puisi yang tak pernah dapat kutuliskan dalam kata-kata, puisi yang hanya mampu kupahami dengan cinta dan doa.

Masih kuingat, setiap kali aku mulai menyusun kata-kata, kau pasti tertawa, dan aku selalu gagal menuntaskannya hingga penaku terkulai tak berdaya. Malah, seringkali kau bilang puisiku terlalu menye-menye, lebay, atau dengan istilah-istilah alay yang kau sendiri tak pernah tahu artinya. Tak mengapa, tak selamanya cinta menuntut dituliskan dalam kata-kata.

Mungkin engkau akan bertanya-tanya, alasan macam apa hingga akhirnya aku memberanikan diri menuliskan puisi ini untukmu. Seperti halnya aku yang selalu bertanya-tanya, kesetiaan macam apa yang tuhan berikan kepadamu, hingga mau merawat kepedihanku.

Sebenarnya aku ingin membuat kejutan dalam ulang tahunmu, membelikanmu mobil baru, atau membelikanmu rumah baru, tapi setelah kupikir-pikir; selain pemborosan, ternyata persediaan uangku tak cukup di tabungan untuk memuwujudkan kejutan-kejutan itu. Toh, apa yang kumiliki dalam hidupku (selain kesedihanku), adalah bagi kebahagiaanmu.

Sederhana saja alasanku, kekasihku, aku ingin menuliskanmu sebuah puisi; sebuah puisi yang setiap kali kau baca tak pernah menyisakan rasa nyeri. Sesederhana itulah alasanku membuat puisi untukmu, sesederhana kita yang saling jatuh cinta, sesederhana kita yang saling menjaga setia, sepanjang usia…

Aku sengaja menulis puisi ini saat kau berulang tahun, saat sepasang lenganku bermunajat kepada Sang Pencipta, agar segala doa-doa keselamatan dan kebahagiaan tercurahkan; untuk hidupmu, untuk kebahagiaanmu.

Mungkin puisi ini tak berarti apa-apa, dibanding kado ulang tahun atau cinderamata lainnya yg kuberikan setiap kali kau merayakan usia. Tapi bagiku, ini adalah kado terbesar yang mampu kuberikan dalam hidupku; selain perasaan-perasaanku yang selalu mencintaimu, sepanjang waktu…

Kekasihku, pastinya kau pernah membaca bio twitterku, yang menurut beberapa orang adalah sajak pendek yang mampu menggetarkan perasaan wanita, bahkan menggoncangkan dunia: “Cinta, Kutuk Aku dalam Keabadian!”. Bacalah berulang-ulang, dan kau akan tahu; betapa bersyukurnya hidupku memiliki cintamu. Sajak itu adalah rangkuman dari ribuan sajak dalam hidupku: tersirat kesetiaan, kepasrahan, dan kebahagiaan yang tak pernah mau (dan mampu) tergantikan. Asal kau tahu saja, beberapa pria diam-diam mencuri bio twitterku hanya untuk merayu calon pacarnya, meski akhirnya tetap ditolak juga cintanya.

Menulis puisi ini untukmu, sama susahnya seperti aku pertama kali bilang ‘I love You’ kepadamu; sangat sakral bagi hidupku, dan mungkin juga bagi hidupmu.

Kau pasti mulai bosan membaca pengantar ini, dan aku belum juga menuliskanmu sebuah puisi. Aku gamang, tak percaya diri menuliskanmu dalam sajak-sajakku, dan aku harus hati-hati sekali, agar kata-kata yang kutuliskan nanti: tak melukai dan menyakiti kebahagiaanmu hari ini.

Tapi, baiklah, akan kutuliskan puisi ini di hari ulang tahunmu, hari kebahagiaanmu, bacalah dengan sepenuh cintamu, bacalah dengan segenap doa-doamu:

“Selamat Ulang Tahun, Kekasihku, panjang umur bahagiamu; aku mencintaimu…”

Bemz_Q (Suami bagi anak-anak kesedihanmu)

*puisi ini aku tuliskan satu jam menjelang ulang tahun istriku; istri yang sangat mencintai hidupku, dan juga anak-anakku.